Penulis: Iwan Trianaz, Jurnalis NU dari
Majalengka
DALAM sehari dia selalu menargetkan bertemu dengan banyak pihak, 2-3 kali. Begitulah kerja-kerja berjejaring. Menurutnya kerja menata dan menjaga jejaring itu gampang-gampang susah. "Yang penting tetap yakin dan berpikir positif," tegasnya dalam sebuah kesempatan.
Sesekali dirinya ikut rapat harian di
Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai Wakil Sekretaris Jenderal
(Wasekjen). Sempat kaget ketika namanya tiba-tiba mencuat sebagai calon Wakil
Gubernur Jawa Barat (Jabar). Tidak tanggung-tanggung dia dipaketkan dengan
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, Ketua Partai Golkar Jabar yang mengalami
prahara politik.
Partai berlambang Pohon Beringin itu
menerbitkan rekomendasi sebagai Calon Gubernur Jabar bukan untuknya, tetapi
malah Ridwan Kamil. Hery, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PB PMII) yang terpilih pada Kongres PB PMII di Bogor ini
bernama lengkap Hery Haryanto Azumi.
Dia dikenal cerdik, selalu mampu berjibaku
dengan peta konflik politik nasional. Selalu matang menghitung risiko yang
terjadi. Sebisa mungkin ia berupaya untuk meminimalisir risiko agar dampaknya
tidak meluas dan merugikan banyak pihak. Karena kelihaiannya ini, sejumlah
tokoh politik kerap meminta masukan Hery. Dalam beberapa kasus misalnya yang
terekam, saat dirinya menggagas aliansi kekuatan nasionalis - agama. Beberapa
momen politik disinyalir olehnya seperti ada upaya untuk membenturkan kelompok
nasionalis dan agama.
Menurut dia, kombinasi kelompok
nasionalis-agama merupakan aliansi kekuatan yang sangat strategis. Ia pun
ditunjuk untuk menggelar halaqoh nasional alim ulama yang digelar di Hotel
Borobudur Juli lalu. Ia pun kembali menggerakan jaringan-jaringan lamanya
seantero Indonesia. Benar saja, ribuan ulama termasuk yang khos hadir dalam
pertemuan tersebut. Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri
datang. Inisiatif ini berangkat pasca-meningginya suhu politik saat Pilgub DKI
Jakarta. Dimana banyak kelompok menyuarakan isu sektarian.
Gayung bersambut. Melihat langkah tersebut,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hadir dalam halaqoh nasional alim ulama
tersebut, meminta agar perayaan Kemerdekaan RI dibuka dengan menggelar dzikir
kebangsaan. Tepatnya 1 Agustus untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia, ada
dzikiran di Istana Negara. Pelaksananya tak lain adalah Majelis Dzikir Hubbul
Wathon (MD Hubbul Wathon), dimana Hery ternyata ditunjuk sebagai Presidium
Nasional yang kemudian diminta menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus
Besar MD Hubbul Wathon.
Soal krisis Rohingya, Myanmar, Hery
mendorong agar Indonesia mengambil peran strategis sebagai penyelesai konflik
di kawasan Rakhine tersebut. Salah satunya penyelesaian secara lintas agama. Ia
berpikir, bahwa gerakan solidaritas agama sebagai cermin bagi Indonesia.
Artinya, jika ditarik ke Indonesia umat Islam harus melindungi umat minoritas
lainnya. Inilah moral standing Pemerintah Indonesia.
Dia berkeyakinan ketika
itu, bahwa konflik di Rakhine bukanlah konflik bernuansa agama, tapi lebih pada
tentang kemanusiaan. Jika ada pihak-pihak yang menilai konflik di kawasan
Rakhine murni agama, pandangan itu terlalu sempit, demikian Hery ketika itu
menjelaskan. Dan terbaru, Hery masuk sebagai dewan pakar di Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI). Ini kali pertama, INTI mengangkat warga non
keturunan masuk dalam jajaran pengurus pusat. Hery bukanlah keturunan ulama,
kyai atau pejabat.
Dia hanya seorang anak dari keluarga yang
kuat memegang tradisi keagamaan. Ia sempat menimba ilmu di Pondok Pesantren
Denanyar, Jombang, pesantren yang didirikan oleh tokoh NU KH Bisri Syansuri.
Kemudian melanjutkan studinya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Untuk
mempertahankan eksistensinya, Hery sejak kuliah sudah aktif menulis.
Ia pun menjadi penulis lepas di beberapa
media di Jakarta. Punya kemampuan bahasa Inggris, tak ayal beberapa tulisannya
diterbitkan koran berbahasa Inggris. Selain menjadi aktivis PMII, pengalaman
lain yang pernah didapatkannya, adalah kegiatan berkunjung ke luar negeri.
Diantara program kunjungan ke luar negeri yang pernah diikutinya, antara lain,
Program International untuk Ethnisitas, Multikulturalisme, dan Security Issues
yang diselenggarakan oleh Departmen Luar Negeri Amerika Serikat di 10 negara
Bagian AS (Washington D.C., Maryland, Virginia, Florida, Ohio, Georgia,
California, San Francisco, Seattle, New York ), tahun 2003. Hery juga aktif
mengikuti acara diskusi dan dialog di dalam dan luar negeri.
Di antaranya
menjadi pembicara dalam Dialog antar agama, yang diselenggarakan oleh Acron
State University di (Ohio 2003), Lecture pada Frederich Von Hayek’s Thoughts
yang diselenggarakan oleh Indonesian CSIS bekerja sama dengan Australian
Institute of Liberal Studies dan Swedish Hayek Institute (2002), ASEAN People’s
Assembly II, diselenggarakan ASEAN ISIS (Denpasar, 2002) dan Kursus ketrampilan
Presentasi and penulisan granted oleh The British Council (2001).
Di bidang pengalaman kerja, Hery pernah
menjadi Directur The Kemang Institute for Research dan Analysis (2003-2005),
Direktur Riset Yayasan Sentral Indonesia Semesta (2000-2002), Departemen
Politik dan Demokrasi, Institute of Social Institutions Studies (ISIS) sejak
2002.
Dia juga punya segudang pengalaman dalam
bidang advokasi dan mediasi, di antaranya mediasi konflik sosial di Bekasi dan
Tangerang pada tahun 1999 hingga 2004.
Ketika namanya muncul menjadi cawagub Jawa Barat mendampingi Dedi
Mulyadi yang juga dikenal nasionalis. Kata yang tepat adalah : “sangat pantas”.
Dedi yang dikenal sangat merakyat ini, perlu
ditopang oleh sosok yang memiliki kejelian dan kepekaan dalam membaca situasi.
Hery punya itu. Kehadiran Hery dalam bursa pilgub Jabar menjadi fenomena baru,
warna baru dan peta politik baru. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar