Sajak cinta untuk Chairil Anwar |
TEPATNYA Jumat
(28/4/2017) lalu atraksi baca puisi digelar di Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) Jakarta, persisnya di anjungan Sumatera Utara. Bukan suatu
kebetulan semata. Sebanyak 16 sastrawan tampil masing-masing membacakan
puisi. Ya, mereka tampil membawa puisi untuk mengenang Sastrawan Chairil
Anwar, yang meninggal 28 April 1949, meninggal di usia muda 27 tahun.
Media ini
berkesempatan melihat langsung penampilan 16 sastrawan, satu per satu
membacakan puisi. Sajak-sajak cinta untuk mengenang sang sastrawan
kondang dan legendaris. Salah satu puisi yang dibawakan yaitu "Jika Ku
Mati, Kau Mati Iseng Sendiri". Salah satu sastrawan yang tampil yaitu
Anugrah Kabihantoro (Anka).
"Ajang ini untuk
mengenang meninggalnya sastrawan legendaris Chairil Anwar.
Karya-karyanya terus memotivasi untuk para sastrawan berkarya tanpa
henti," ungkap panitia kegiatan, sastraawan Edy Prambuano.
Chairil Anwar |
Untuk mengenang Chairil Anwar, dirinya sosok penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”). Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil Anwar sendiri dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan Bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
“Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta”
Sesudah
nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan
terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda
menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali
kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan,
pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika
semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa
kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya
selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. (indri/net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar